Rumah, rumah dan rumah. Itu saja isi pembicaraan perempuan sekarang. Memangnya mudah apa menemukan pasangan yang siap ’membangun’ rumah? Belum lagi ditilik dari umur, sebagaimana usia rupanya tak menjamin kedewasaan.
Aku sekarang tidak punya tipe rumah idaman. Sebagaimana dulu aku ingin ada bagian atap yang terbuka persis di bagian tengah rumah. Biar sinar matari bisa masuk, menyeruak dingin dan malam yang sudah usai, mengisinya dengan kehangatan yang tak hanya bisa dilihat mata serta tak mampu diceritakan usai dengan kata-kata.
Sama halnya dengan halaman luas, tempat kaki-kaki kecil kan berlari. Bukan karna dikejar apa atau mengejar siapa. Tapi semata ingin bermain dengan degup jantung, ingin merasakan adrenalin naik dan nafas terengah-engah. Lalu semburat merah muda kan percantik pipi yang menggemaskan bagai sepasang apel yang ranum.
Atau mungkin dinding kaca, di sana dan sini. Agar semuanya transparan dan mudah dikontrol. Bisa jadi karna aku adalah control freak. Tapi tak apalah, mungkin nanti hanya ada dinding dengan warna-warna yang menyolok mata. Sumbangan seniman genit yang gatal dengan rumahku yang polos.
Karna aku tahu, tak ada gunanya punya tipe rumah idaman. Saat atap dan dinding tak melekat erat. Saat emosi belum bercengkrama sempurna dengan kasih dan komitmen. Saat aku masih belum tahu, bagian mana diriku yang ingin pulang.
Nanti, setelah bertahun-tahun mendatang, mungkin ku baru tahu. Esensi sebenarnya dari kata pulang. Dari apa yang terselamatkan di kubah yang tlah runtuh ini.
Aku sekarang tidak punya tipe rumah idaman. Sebagaimana dulu aku ingin ada bagian atap yang terbuka persis di bagian tengah rumah. Biar sinar matari bisa masuk, menyeruak dingin dan malam yang sudah usai, mengisinya dengan kehangatan yang tak hanya bisa dilihat mata serta tak mampu diceritakan usai dengan kata-kata.
Sama halnya dengan halaman luas, tempat kaki-kaki kecil kan berlari. Bukan karna dikejar apa atau mengejar siapa. Tapi semata ingin bermain dengan degup jantung, ingin merasakan adrenalin naik dan nafas terengah-engah. Lalu semburat merah muda kan percantik pipi yang menggemaskan bagai sepasang apel yang ranum.
Atau mungkin dinding kaca, di sana dan sini. Agar semuanya transparan dan mudah dikontrol. Bisa jadi karna aku adalah control freak. Tapi tak apalah, mungkin nanti hanya ada dinding dengan warna-warna yang menyolok mata. Sumbangan seniman genit yang gatal dengan rumahku yang polos.
Karna aku tahu, tak ada gunanya punya tipe rumah idaman. Saat atap dan dinding tak melekat erat. Saat emosi belum bercengkrama sempurna dengan kasih dan komitmen. Saat aku masih belum tahu, bagian mana diriku yang ingin pulang.
Nanti, setelah bertahun-tahun mendatang, mungkin ku baru tahu. Esensi sebenarnya dari kata pulang. Dari apa yang terselamatkan di kubah yang tlah runtuh ini.
1 comment:
'neway.. kalau pulang ya kerumah.. dan rumah adalah orang-orang yang paling dicintai..(lupa dialog film apa).. tapi setiap hari kurasa kamu pulang.. mungkin suatu saat nanti ke rumah yang baru..
Apa? dinding kaca..dimana? can i live next door to you? hahaha...
Post a Comment